Selasa, 13 Februari 2024

FIKIH BAB 3

 BAB III: KONSEP IJTIHAD DAN BERMAZHAB







A. Menganalisis Ijtihad 

     1. Pengertian ijtihad Pengertian ijtihad dari bentuk kata fi’il madhi jahada artinya adalah kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi ijtihad menurut istilah, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan diantaranya adalah :
     a. Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyadul al-Fuhuli memberikan definisi. Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istimbath. 
    b. Ibnu Subki memberikan definisi Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
    c. Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelum dengan penambahan kata, dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih daripada itu.   
    d. Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah, Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu. 
    Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
     1) Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;
     2) Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih;
     3) Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
     4) Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istimbath.






    2. Dasar hukum ijtihad dan hukum ijtihad 

    a. Dasar hukum ijtihad Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan hukum untuk melakukan ijtihad, baik melalui dalil yang jelas maupun isyarat.
    b.Hukum ijtihad Secara umum hukum ijtihad itu wajib bagi seorang yang sudah mencapai tingkat faqih atau mujtahid. Jika belum mencapai kedudukan faqih maka dianjurkan bermazhab. Bertaqlid kepada orang lain tidak diperbolehkan bagi seseorang yang sudah mencapai derajat mujtahid.


    3. Perkembangan ijtihad Ijtihad berkembang mengikuti perkembangan zaman, sebagaimana diketahui, sumber hukum pada awal permulaan Islam pada masa Rasulullah Saw., yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, pada masa Rasulullah Saw. ijtihad sudah mulai ada tetapi pada masa ini masih belum bervariatif, ijthad dengan berbagai variasinya mulai berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan yang akan datang. Keadaan yang membuktikan bahwa pada masa Rasulullah Saw. ijtihad mulai ada yaitu adanya riwayat hadits yang berbicara tentang kisah pengutusan Mu’az Bin Jabal ke Yaman. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
    Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah Saw. kepada sahabat itu, ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah Saw. ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapatkan pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah Saw. jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.



    B. Menganalisis Konsep Bermazhab 

    1. Pengertian mazhab Mazhab menurut pengertian bahasa adalah pendapat, kelompok, aliran, yang bermula dari pemikiran .Menurut istilah ijtihad seseorang imam dalam memahami sesuatu hukum fikih. Pada dasarnya, mazhab-mazhab itu timbul antara lain karena perbedaan dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis yang tidak bersifat absolut. Perbedaanperbedaan mengenai maksud ayat-ayat zanni ad-dalalah (ayat-ayat yang pengertiannya masih dapat ditafsirkan) adalah salah satu sebab timbulnya mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam.

    Para mujtahid yang mendapatkan pahala adalah yang benar-benar mempunyai keahlian dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Bagi mereka yang tidak memiliki keahlian melakukan ijtihad, maka haruslah taqlid atau mengikuti pendapat yang telah ditetapkan oleh para imam mazhab. Dan apabila mereka memaksakan diri untuk melakukan ijtihad, maka sama sekali tidak mendapat pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan kecerobohannya. Mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad disebut mujtahid mutlak dengan menggunakan metode atau kaidah-kaidah untuk melakukan istimbath hukum lebih dikenal dengan imam mazhab. Dan orang yang mengikuti imam mazhab disebut bermazhab. Dalam fikih atau hukum, terdapat empat mazhab besar, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Selain empat mazhab tersebut, terdapat pula mazhabmazhab lainnya yang dalam perkembangan selanjutnya tidak sebesar keempat mazhab terdahulu. Mazhab-mazhab tersebut adalah at-Tsauri, an-Nakha’i, atTabari, al-Auza’i (88-157 H), dan az-Zahiri yang didirikan oleh Dawud bin Khalaf al-Isfahani (200-270 H). Diantara mazhab-mazhab ini yang menonjol adalah mazhab az-Zahiri.

    2. Dasar hukum bermazhab Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
    Para ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham (kekayaan), sebaliknya mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak. (HR. Abu Dawud ) 

    Bermazhab itu sangat penting bagi seorang mukmin agar pemahaman dan praktik agamanya benar. Karena bermazhab merupakan metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fikih mazhab tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul almazhab yang dianutnya. Ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali beliau telah disepakati oleh para ulama paling memiliki otoritas dan lebih dapat dipercaya dalam menafsirkan sumber hukum Islam yang utama yairu al-Qur’an dan al-Hadis, dan merekalah ulama yang diberikan kemampuan dan kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama mazhab tersebut adalah pewaris ilmu dan amalan para Nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan hormati pendapatnya. 

    3. Klasifikasi bermazhab 

    a. Taqlid 
    1). Pengertian Taqlid 

    Taqlid mempunyai arti menurut bahasa mengikuti, meniru, membuat tiruan. Sedangkan menurut istilah taqlid adalah : Al-Ghazali memberikan definisi: Menerima ucapan tanpa hujjah. Al-Asnawi dalam kitab Nihayatul al-Ushul mengemukakan definisi: Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil. Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawami’ merumuskan definisi: Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
    Dari penjelasan dan analisis tentang definisi tersebut dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu: 
    a) Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
    b) Pendapat atau ucapan orang lain diikuti tidak bernilai hujjah 
    c) Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebabsebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu. Dari penjelasan hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid sebagaimana disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan ijtihad dan mujtahid yang telah dijelaskan sebelum ini, maka terlihat ada tiga lapis umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum Islam atau syara’, yaitu:
    (1) Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya.ini yang disebut mujtahid muthlaq. 
    (2) Muqallid, yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu. 
    (3) Muttabi’, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti metode dan petunjuk yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya. Mujtahid dalam peringkat mujtahid muntasib, mujtahid mazhab, mujtahid murajjih, dan mujtahid muwazin.


    2) Hukum bertaqlid dan ketentuan taqlid 

    a) Hukum bertaqlid Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya adalah firman Allah Swt. sebagai berikut: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(QS. Al-Baqarah [2]: 170)
    b) Ketentuan bertaqlid Berdasarkan firman Allah Swt. sebagai berikut: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl [16] : 43)

    Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa ada isyarat dari Allah Swt. kepada manusia untuk bertaqlid. Menurut A. Hanafie yang diperbolehkan bertaqlid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti metode ijtihad. Ia diperbolehkan mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya.









    Selasa, 06 Februari 2024

    FIKIH BAB 2

     BAB II : SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFĂQ (DISEPAKATI) DAN MUKHTĂLĂF (TIDAK DISEPAKATI)


    A. Menganalisis Sumber Hukum Islam yang Muttafâq (Disepakati)




    1. Al-Qur’ân 

        A. Pengertian al-Qur’an

            Al-qur'an berasal dari bahasa arab yang artinya bacaan atau yang di baca. Sedangkan menurut istilah Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafadz bahasa Arab dan maknanya dari Allah Swt. melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, ia merupakan dasar dan humber hukum utama bagi syari’at.

    Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sekarang ini. Penukilan secara mutawatir ini dimana al-Qur’an begitu disampaikan kepada para sahabat, maka para sahabat langsung menghafal dan menyampaikannya pula kepada orang banyak, dalam penyampaiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan kebohongan. Dengan demikian, kebenaran dan keabsahan al-Qur’an terjamin dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah.








    a. Pokok isi kandungan al-Qur’an Isi kandungan al-Qur’an meliputi : 1) Tauhid 2) Ibadah 3) Janji dan ancaman 4) Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat 5) Riwayat dan cerita (qishah umat terdahulu). 

    b. Dasar kehujjahan al-Qur’an dan kedudukan sebagai sumber hukum Islam. Sebagaimana kita ketahui al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib di amalkan semua perintahnya dan wajib ditinggalkan segala larangan-nya. Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum Islam yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan isi al-Qur’an. 

    c. Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum Pedoman al-Qur’an dalam menetapkan hukum sesuai dengan perkembangan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani. manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak kemampuan.


    2. Al-Hadis 

    A. Pengertian al-Hadis Hadis menurut bahasa mempunyai beberapa pengertian, yaitu baru, dekat, atau berita.

    B. Macam-macam hadis ada tiga yaitu: 

    1) Hadis qauliyah (perkataan) Yaitu hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi Saw. dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan Nabi Muhammad Saw. contohnya: Bahwasannya sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seorang hanya memperoleh dari apa yang dia niatkan (HR. Bukhari Muslim).

    2) Hadis fi’liyah (perbuatan) Yaitu hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain. Contohnya: Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari Muslim).

    3) Hadis taqririyah (ketetapan) Yaitu perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi Saw, tetapi beliau mendiamkan dan tidak menolaknya. Sikap diam Muhammad Nabi Saw. tersebut dipandang sebagai persetujuan. Contohnya: Maaf, berhubung binatang tersebut tidak terdapat di daerah kaumku, aku merasa jijik kepadanya. Khalid berkata: kemudian aku memotongnya dan memakannya sementara Rasulullah Saw. cuma memandang kepadaku (HR. Bukhari Muslim).









    Profile Riwayat Hidup

      https://sg.docworkspace.com/d/sIDm4r6rFAYDFp68G?sa=e1&st=0t