BAB III: KONSEP IJTIHAD DAN BERMAZHAB
A. Menganalisis Ijtihad
a. Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyadul al-Fuhuli memberikan definisi. Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat
amali melalui cara istimbath.
b. Ibnu Subki memberikan definisi Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat
tentang hukum syar’i.
c. Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi
sebelum dengan penambahan kata, dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih daripada itu.
d. Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah, Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari
hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih
dari itu.
Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil
hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
1) Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;
2) Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di
bidang keilmuan yang disebut faqih;
3) Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat
tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah;
4) Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istimbath.
a. Dasar hukum ijtihad
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan hukum untuk melakukan ijtihad, baik melalui dalil
yang jelas maupun isyarat.
b.Hukum ijtihad
Secara umum hukum ijtihad itu wajib bagi seorang yang sudah mencapai tingkat
faqih atau mujtahid. Jika belum mencapai kedudukan faqih maka dianjurkan bermazhab. Bertaqlid kepada orang lain tidak diperbolehkan bagi seseorang yang
sudah mencapai derajat mujtahid.
3. Perkembangan ijtihad
Ijtihad berkembang mengikuti perkembangan zaman, sebagaimana diketahui, sumber
hukum pada awal permulaan Islam pada masa Rasulullah Saw., yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Namun, pada masa Rasulullah Saw. ijtihad sudah mulai ada tetapi pada
masa ini masih belum bervariatif, ijthad dengan berbagai variasinya mulai
berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa generasi
selanjutnya hingga kini dan yang akan datang. Keadaan yang membuktikan bahwa pada masa Rasulullah Saw. ijtihad mulai ada
yaitu adanya riwayat hadits yang berbicara tentang kisah pengutusan Mu’az Bin Jabal
ke Yaman. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah Saw. kepada sahabat itu,
ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul
setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah Saw. ijtihad yang
dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk
mendapatkan pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah Saw. jika
ternyata hasil ijtihad mereka keliru.
B. Menganalisis Konsep Bermazhab
1. Pengertian mazhab
Mazhab menurut pengertian bahasa adalah pendapat, kelompok, aliran, yang
bermula dari pemikiran .Menurut istilah ijtihad seseorang imam dalam
memahami sesuatu hukum fikih.
Pada dasarnya, mazhab-mazhab itu timbul antara lain karena perbedaan dalam
memahami al-Qur’an dan al-Hadis yang tidak bersifat absolut. Perbedaanperbedaan mengenai maksud ayat-ayat zanni ad-dalalah (ayat-ayat yang
pengertiannya masih dapat ditafsirkan) adalah salah satu sebab timbulnya
mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam.
Para mujtahid yang mendapatkan pahala adalah yang benar-benar mempunyai
keahlian dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Bagi mereka yang tidak
memiliki keahlian melakukan ijtihad, maka haruslah taqlid atau mengikuti
pendapat yang telah ditetapkan oleh para imam mazhab. Dan apabila mereka
memaksakan diri untuk melakukan ijtihad, maka sama sekali tidak mendapat
pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan kecerobohannya.
Mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad disebut mujtahid mutlak
dengan menggunakan metode atau kaidah-kaidah untuk melakukan istimbath
hukum lebih dikenal dengan imam mazhab. Dan orang yang mengikuti imam
mazhab disebut bermazhab.
Dalam fikih atau hukum, terdapat empat mazhab besar, yaitu: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Selain empat mazhab tersebut, terdapat pula mazhabmazhab lainnya yang dalam perkembangan selanjutnya tidak sebesar keempat
mazhab terdahulu. Mazhab-mazhab tersebut adalah at-Tsauri, an-Nakha’i, atTabari, al-Auza’i (88-157 H), dan az-Zahiri yang didirikan oleh Dawud bin
Khalaf al-Isfahani (200-270 H). Diantara mazhab-mazhab ini yang menonjol
adalah mazhab az-Zahiri.
2. Dasar hukum bermazhab
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
Para ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar ataupun dirham (kekayaan), sebaliknya mereka mewariskan
ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu) maka dia telah mengambil
keuntungan yang banyak. (HR. Abu Dawud )
Bermazhab itu sangat penting bagi seorang mukmin agar pemahaman dan praktik
agamanya benar. Karena bermazhab merupakan metode untuk mengetahui
hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fikih mazhab
tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul almazhab yang dianutnya.
Ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali beliau telah disepakati oleh
para ulama paling memiliki otoritas dan lebih dapat dipercaya dalam menafsirkan
sumber hukum Islam yang utama yairu al-Qur’an dan al-Hadis, dan merekalah
ulama yang diberikan kemampuan dan kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk menjelaskan kebenaran agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya
ulama mazhab tersebut adalah pewaris ilmu dan amalan para Nabi terdahulu yang
wajib kita ikuti dan hormati pendapatnya.
3. Klasifikasi bermazhab
a. Taqlid
1). Pengertian Taqlid
Taqlid mempunyai arti menurut bahasa mengikuti, meniru, membuat
tiruan. Sedangkan menurut istilah taqlid adalah :
Al-Ghazali memberikan definisi: Menerima ucapan tanpa hujjah. Al-Asnawi dalam kitab Nihayatul al-Ushul mengemukakan definisi: Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil. Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawami’ merumuskan definisi: Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi tersebut dapat dirumuskan
hakikat taqlid, yaitu:
a) Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat
orang lain.
b) Pendapat atau ucapan orang lain diikuti tidak bernilai hujjah
c) Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebabsebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
Dari penjelasan hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid
sebagaimana disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan ijtihad dan
mujtahid yang telah dijelaskan sebelum ini, maka terlihat ada tiga lapis
umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum Islam atau syara’,
yaitu:
(1) Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasilkan
melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan
tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya.ini yang disebut mujtahid
muthlaq.
(2) Muqallid, yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan
pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya
itu.
(3) Muttabi’, yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat,
namun dengan cara mengikuti metode dan petunjuk yang telah
dirintis oleh ulama sebelumnya. Mujtahid dalam peringkat
mujtahid muntasib, mujtahid mazhab, mujtahid murajjih, dan
mujtahid muwazin.
2) Hukum bertaqlid dan ketentuan taqlid
a) Hukum bertaqlid
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang
orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya adalah
firman Allah Swt. sebagai berikut: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?".(QS. Al-Baqarah [2]: 170)
b) Ketentuan bertaqlid
Berdasarkan firman Allah Swt. sebagai berikut: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl [16] : 43)
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa ada isyarat dari Allah Swt.
kepada manusia untuk bertaqlid. Menurut A. Hanafie yang
diperbolehkan bertaqlid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak
mengerti metode ijtihad. Ia diperbolehkan mengikuti pendapat orang
pandai dan mengamalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar